Duka Tetangga Kos

(c) here
Ergh, hai...

Entah bagaimana memulainya. Sudah lama saya tidak menulis di blog. Rasanya baru kemarin saya dengan penuh optimis berusaha menyambut tahun 2016 walau lamaran kerja tak kunjung direspon. Tiba-tiba sudah ganti tahun saja. 

Malam tahun baru 2017 berlalu dengan epik. Saya tertidur dalam kesendirian di kos. IYA! SAYA TIDAK KEMANA-MANA! TERUS MASALAH? Rasanya malas saja menghabiskan waktu di kota Jakarta dengan keramaian dan kemacetan panjang yang melelahkan. Pas jam 12 malam, saya baru terbangun karena di luar mulai berisik dengan bunyi petasan dan terompet. Pasti sudah banyak orang berciuman di luar sana.

Pffttt... #TimSirik

Tahun 2017 dimulai dengan hujan dan angin kencang. Pasti banyak lagi yang pelukan.

Pffttt...

Pagi hari di tanggal 7 Januari 2017, saya terbangun dari tidur karena suara tangis seorang perempuan memecah kesunyian kos di pagi hari. Refleks, saya berlari ke kamar mandi untuk menghilangkan iler-iler yang ada, lalu pergi ke luar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Tidak ada...

Tidak ada ramai-ramai di depan kos. Lorong kecil depan kos itu masih sama sunyi seperti hati saya. Tangis itu tiba-tiba pecah lagi. Pada tangisan—yang entah sudah ke berapa—itu, barulah saya sadar ternyata tetangga sebelah yang menangis. Kenapa tetangga saya menangis di pagi hari? Apa dia baru saja diputusin pacarnya? Apa dia baru saja ngeliat foto nikahan mantan?

Bagaimana pun juga, saya masih tetap manusia yang punya simpati dan empati. Walau gugup, saya mutusin buat mengetuk pintu kamarnya. Cukup lama saya dibiarkan mengetuk tanpa jawaban walau suara tangisan sudah mereda beberapa menit yang lalu.

"Ada apa, Mas?"

Perempuan itu menyapa sambil berusaha bersembunyi di balik pintu yang yang cuma dibuka beberapa cm. Saya menyapa balik, bertanya dengan sesopan mungkin tentang kenapa dia menangis. 

Mendengar pertanyaan saya, dia langsung terduduk lemas di pinggir tempat tidur, lalu kembali menangis lagi. Dengan terbata-bata, dia ngomong kalau bapaknya sudah meninggal.

Kebodohan saya yang pertama adalah merespon kabar duka itu dengan mengucapkan...

"Ya ampun!"

FAK! Rasanya mau masukin kepala ke dalam jamban. Entah itu ungkapan rasa syok atas kabar duka atau karena ngeliat dia cuma pakai celana pendek dan tanktop. JUDGE ME!

***

Saya ingat waktu itu baru sebulan tinggal bersebelahan dengan dia. Pada suatu malam saat baru pulang kerja, tiba-tiba dia ngetuk pintu kamar terus dengan senyum ramahnya ngasih saya makanan. Padahal sebagai orang yang sama-sama sibuk kerja, kami belum pernah mengobrol dan ya, belum pernah berkenalan.

Lalu selang beberapa minggu, dia ngasih saya makanan lagi pas dia baru pulang. Saya sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini. JANGAN BAPER! JANGAN GE-ER! 

Mungkin...

Mungkin makanan-makanan itu dibelikan sama gebetan yang tidak dia suka, terus dia terima saja karena tidak enak menolak. Terus sampai di kos, dia malah ngasih saya.

Mungkin makanan-makanan itu memang dibeli sama dia tapi ternyata pas mau pulang malah dijemput sama pacarnya terus mereka makan bareng. Karena sudah terlanjur beli, daripada dibuang mendingan dia ngasih ke orang susah dan yang lebih membutuhkan seperti saya.

Mungkin makanan-makanan itu sebenarnya sudah dari kemarin. Atau mungkin saja dia memang baik, sengaja beli makanan buat saya.

***

Saya mendengar dia bercerita sambil menangis. Dia duduk di kasur dengan pintu kamar terbuka, sedangkan saya hanya berdiri mematung di luar. Hal-hal seperti ngasih kalimat penghiburan atau bahkan ngasih sebuah pelukan sudah menari-nari di pikiran saya. Tapi ya, seperti biasa, saya hanya diam, kaku, tidak berani bertindak. Well, sebenarnya saya juga sadar diri, bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan dia. Kalau tiba-tiba meluk dia, mungkin saya bakal ditampar terus dibakar warga karena mencoba melakukan pelecehan seksual. 

Setelah mendengar cerita singkatnya yang terbata-bata dan diselingi tangis, saya menawarkan diri untuk bantuin dia nyari tiket pesawat karena dia ingin pulang ke Pekanbaru hari itu juga. Awalnya dia nolak. Dia nyoba nyari sendiri (saya tidak tahu dia pakai aplikasi apa) tapi tiba-tiba dia menangis kencang lagi, menghentak-hentakan kakinya ke lantai, nyaris kehilangan kendali karena tidak ada tiket pesawat yang dia cari. Untungnya dia masih bisa menahan diri untuk tidak histeris apalagi pingsan.

Bayangin saja bagaimana rasanya saat orang yang kamu sayang baru saja meninggal dan kamu tidak punya kesempatan melihatnya untuk terakhir kalinya, tidak bisa ikut pemakaman. Hati siapa yang tidak hancur berantakan?

"Bapak jahat. Katanya mau nungguin sampai saya nikah tanggal 23. Bapak jahat!"

Dia setengah berteriak sambil menangis. Ya, dia mengungkapkan rasa sedihnya karena sebentar lagi menikah tapi beliau tidak akan pernah hadir mengantar dan melepaskan putrinya untuk hidup bersama lelaki lain.

Saya hanya bisa pura-pura sedang kelilipan serangga.

Setelah itu, saya langsung buka aplikasi Trapeloka, Tiketdotcom, dan pegipegi di hape. Saya buka semua aplikasi 'jual tiket' yang saya punya untuk nyari tiket ke Pekanbaru. Singkat cerita... Puji Tuhan, saya dapat tiket Jakarta - Pekanbaru yang siangnya berangkat, sorenya sampai. Singkat cerita, dia tiba di Pekanbaru dengan selamat.

Entah, bagaimana kabarnya. Sampai hari ini dia belum balik ke kos. Mungkin sekalian menunggu sampai hari pernikahannya nanti.

Pesan moral dari cerita nyata ini adalah bahwa buat laki-laki yang sedang baca cerita ini, jangan pernah punya pikiran buat modusin orang dalam situasi berduka seperti itu. Jangan pernah!!

Untuk semuanya : Mari berbuat baik tanpa pamrih. Jangan mengharapkan balasan untuk berbuat baik.

Selamat tahun baru...

Comments

Popular posts from this blog

Medical Check Up Pertama Seumur Hidup

5 Jenis Guru Unik Saat SMA