IPK dan Pintu Sukses


Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tentu tidak asing lagi bagi para mahasiswa. IPK merupakan parameter bagi keberhasilan mahasiswa selama bertahun-tahun berjuang bertahan hidup di tengah kerasnya dunia kampus. Akan ada tempat khusus saat acara wisuda bagi mereka-mereka yang meraih IPK tertinggi, akan ada respect yang berdatangan bagi mereka yang meraih predikat cum laude, bahkan mungkin ada yang langsung jatuh cinta pada sosok di depan podium begitu melihat piagam cum laude memantulkan cahaya lampu, kejang-kejang, lalu mati. 

Sesuai dengan materi zaman OSPEK dulu, bahwa ada beberapa tipe mahasiswa. Secara garis besar, mahasiswa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu Mahasiswa Aktivis, Mahasiswa Akademis, dan Mahasiswa Hedonis. Seiring dengan perkembangan zaman, jenis-jenis mahasiswa pun mulai bertambah banyak, dari yang tipe mulai bercabang menjadi sub tipe, bercabang lagi menjadi prototype, lalu jadi cyborg. Kenapa malah tidak nyambung?

Dengan jenis mahasiswa yang beragam, kita semua pasti paham alasan SBY menunjuk Roy Suryo jadi Menpora :D Itulah mengapa ada yang dapat IPK rendah, standar, dan tinggi. Jenis mahasiswa menentukan IPK. Misalnya jenis Mahasiswa Hedonis, sub tipe clubbing dimana 80% waktunya dihabiskan dalam dunia malam. Akibatnya, mereka jarang kuliah, jarang kumpul tugas, jarang dapat nilai bagus. Hasil akhirnya apa? IPK rendah...

Contoh lain, jenis Mahasiswa Akademis yang mengejar nilai bagus, seolah-olah mereka akan mati secara misterius begitu melihat IPK mereka biasa-biasa saja. Seolah-olah angka 3,00 itu semacam pesan kematian dari malaikat  pencabut nyawa. Begitu sampe di kos tiba-tiba kayang di atas kompor menyala. Ada juga yang sampe suka 'menjilat' biar dapat nilai bagus... Sumpah, yang jenis ini saya jijik, najis...

Apakah mahasiswa itu bisa mempertanggungjawabkan IPK mereka?

Maybe Yes, Maybe No!

IPK mahasiswa Indonesia sebagian besar bukanlah cerminan dari kemampuan mereka yang sebenarnya dalam akademik. Kenapa demikian? Jawabannya ada pada tipe dosen. 

1. Tipe Objektif

Dosen tipe ini benar-benar menilai kemampuan mahasiswanya secara jujur. Tidak ada intervensi dari pihak lain. Dosen ini juga lebih sering menilai mahasiswanya dari kuliah sehari-hari (diskusi, bertanya atau berkomentar) daripada menilai mahasiswa hanya berdasarkan tugas, dan hasil ujian semester. 

2. Tipe Subjektif

Dosen tipe ini menilai mahasiswa karena pertimbangan-pertimbangan menyimpang, seperti karena hubungan keluarga, ato karena teman check in, dsb. Di sini, mahasiswa yang tidak layak dapat nilai bagus, mendapatkan nilai bagus karena penilaian yang tidak objektif.

Jadi, dapat disimpulkan, 

Nilai rendah = karena memang jarang kuliah (penilaian objektif)
Nilai rendah = karena penilaian subjektif

Nilai sedang = karena memang kemampuannya segitu (penilaian objektif)
Nilai sedang = karena penilaian subjektif

Nilai tinggi = karena memang kemampuannya segitu (penilaian objektif)
Nilai tinggi = karena penilaian subjektif

Nilai rendah, sedang, tinggi ini akan menentukan IPK. Seorang mahasiswa dengan IPK 3,8 tapi nilainya yang diperoleh berdasarkan penilaian subjektif, misalnya ada nilai yang diberikan dosen karena sering 'main' bareng, apakah itu sesuai dengan kemampuan akademiknya? 

Ada satu hal yang menurut saya perlu menjadi perhatian teman-teman mahasiswa, pacar mahasiswa, calon mertua, dan orang-orang yang selalu melihat IPK sebagai cerminan IQ. Di beberapa lowongan kerja, ada syarat minimun IPK yang dicantumkan.

IPK Minimal 2,75 (Akreditasi A)
IPK Minimal 3,00 (Akreditasi B)
IPK Minimal 3,25 (Akreditasi C)
IPK Minimal 4,00 (Akreditasi D)

Artinya apa?

Akreditasi kampus turut berperan dalam standarisasi IPK dalam lowongan kerja. Maksudnya, bahwa IPK Minimum yang tercantum di atas dianggap setara. Ingat dan Pahami, IPK yang tercantum di atas dianggap SETARA.

Jadi, kalo ada yang punya pacar IPKnya 2,75 jangan langsung minta putus, ato IPKnya 4,00 langsung mau main gelap-gelapan. Tanyakan dulu akreditasi kampusnya. Percuma punya IPK 4,00 tapi akreditasi D. Itu setara sama IPK 3,00 tapi akreditasi B.

Ada yang bilang IPK tinggi gampang dapat kerja. Jawabannya tidak selalu... IPK hanya digunakan sebagai salah satu dari beberapa syarat. IPK tinggi itu ibaratnya hanya memudahkan kita tersortir. Tapi selanjutnya, IPK tinggi tidak akan membantu lagi dalam proses penyeleksian selanjutnya. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah orang-orang yang berdedikasi tinggi, cerdas, mampu bekerja dalam sebuah tim, kreatif, disiplin, dll. 

Semua itu menjadi tidak berguna ketika ada praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme di sana. 

Kesimpulannya adalah IPK tinggi itu bukan berarti mutlak pintar dan cerdas. Banyak faktor yang mempengaruhi. Jadi, jangan ada lagi yang minta putus hanya karena IPK pacarnya 2,75 padahal kampusnya berakreditasi A.

Semoga bermanfaat. *lanjut hitung IPK* :D


Referensi :



Comments

  1. saya pernah nemu dosen yang subjektif gitu... ponakannya dapat nilai tinggi-tinggi.. semoga kita terhindar dari makhluk sedemikian...

    ReplyDelete

Post a Comment

Berkomentarlah yang baik dan sopan. Jangan komentar pake bahasa gaib.

Popular posts from this blog

Medical Check Up Pertama Seumur Hidup

5 Jenis Guru Unik Saat SMA